Advertisement

Orientasi penyelesaian "NERS" pertama, di Rumah Sakit Jiwa

Sudah sekitaran 3 minggu, dihitung sejak saya menyelesaikan seluruh proses mata kuliahan umum selama 4 tahun. Kali ini, ada proses setahun selanjutnya yang dikatakan "profesi Ners". 

Dalam Fakultas Keperawatan khususnya Sarjana keperawatan memiliki paket perkuliahan selama 5 tahun. Empat tahun pertama ditempuh didalam masa perkuliahan kampus dan belum praktik kerumah sakit, walau program Sarjana Keperawatan lainnya ada juga yang sudah. Namun beberapa masih belum. Di program tahun yang ke-5 sebenarnya tidak menjadi keharusan. Bisa mengikuti, bisa tidak. Hanya saja, jika tidak mengikuti akan sulit untuk bekerja dirumah sakit. Itulah perkenalan singkat mengenai proses perkuliahan Sarjana Keperawatan.



Dalam fase setahun selanjutnya banyak stase yang akan dilewati. Dari klinik, maternitas, bedah, panti jompo, puskesmas, hingga rumah sakit Jiwa. 

Perkenalan stase pertama ini cukup unik, di Rumah Sakit Jiwa. Walau awal-awalnya belum berasa apa-apa, melihat keadaan sekitar dari depan yang sejuk dan cukup sunyi. Ketika berjalan ke sekitar dan melihat cukup banyak ternyata mereka, sang penderita sakit Jiwa. Jika diperhatikan, sebenarnya para pasien dengan gangguan jiwa ini cukup menjadi minoritas yang bahkan jauh dari jangkauan. Tak semua masyarakat mengenali bahkan perduli. 

Pandangan yang masih awam dan merasa takut bahkan tak ingin mengusik. Membiarkan para pasien dengan gangguan jiwa dijalanan dengan tidak terurus dari segi kesehatan diri dan makanan.

Perlunya merubah pandangan masyarakat tentang gangguan jiwa sungguhlah perlu. Memperbaiki stigma yang salah dan lebih memperdulikan minoritas yang tertinggal. Menyelamatakan para pasien gangguan jiwa dan mengantarkannya ke rumah sakit jiwa ataupun dinas sosial.

Dengan adanya Rumah sakit Jiwa, para pasien dengan gangguan jiwa dapat dirawat dengan baik. Ditolong dan diusahakan kembali ke kondisi yang seharusnya, walau terlihat sulit mengembalikan ke kondisi normal sepenuhnya. Rutinnya melakukan perawatan dan mengkonsumsi obat-obatan menjadi hal yang harus dilakukan. Beginilah kondisi sekitar. Mari, jangan menghindar.

"Sebelum meninggal, kata Mama : Jadi dokter saja ya nang"

Terlalu asik mengeluh akan kehidupan yang dijalani, kita lupa kalau ada yang lebih menyedihkan kondisi hidupnya dari pada yang kita alami, bahkan bisa saja dikondisi sekritis yang ada, sesungguhnya mereka masih mensyukuri arti kehidupan.

Hari ini saat saya dinas dirumah sakit, saya bertemu dengan dua anak kecil, lelaki dan perempuan. Si kakak bernama Diana  sang gadis berumur 9 tahun dan si adik bernama boston yang berumur 4 tahun. Lalu saya bertanya mengapa mereka berdiri dan tidak bersama orangtua. "Adik, ibunya dimana?" Lalu dia jawab, "ibu saya sudah meninggal" dan saya pun terdiam.

Diana bilang, dia ada 6 bersaudara. 2 sudah meninggal, dan juga ibunya yang katanya meninggal saat dia masih belia dikarenakan "jantung bocor". Sekejap tenang dan diam. Ketika gadis sekecil dia yang tinggal satu satunya perempuan sudah dapat menjaga adiknya yang masih berusia 4 tahun tanpa sifat kasar sedikitpun.

Sudah dua hari Diana tidak masuk sekolah karena kata ayah, ikut saja ke medan sekalian jaga kakek yang sedang dirawat. Ada sekitaran 2 jam kita berbincang dan syukurnya Diana ingin diajak berbicara.

Sejenak saya bertanya ingin jadi apa gadis ini kelak, dan dia jawab "Ingin jadi dokter". Lalu saya bertanya balik, mengapa harus menjadi dokter yang sepertinya sudah terdoktrin pada anak sejak zaman dahulu kala. "Sebenarnya gamau jadi dokter sus, tapi sebelum mama meninggal katanya, udahlah nang jadi dokter aja nanti kamu ya", sahutnya.



Diumur yang cukup belia bahkan dia sudah berusaha untuk memahami bagaimana menjadi perempuan tangguh seutuhnya. Tak heran jika nantinya Diana bisa tumbuh menjadi gadis yang lebih dewasa dari perempuan seusianya.

"Nanti juga aku mau ke papua, ikut abang disana. Cuman mau kebandung juga sama bou, sus. Tapi kata ayah ke papua  aja, padahal jauh kan sus, biaya pesawat aja udah mahal sus kesana" - katanya.

Sudah hampir jam 11 siang, Diana dan Boston belum juga sarapan. Bahkan Ayah saja sudah setengah jam menghilang, dan mereka setia menunggu. Aku berpesan akan pergi sebentar keluar, berniat untuk membelikan mereka makan untuk sarapan tanpa membilang. Ketika berbalik dengan belanjaan, mereka sudah menghilang.

Diana gadis yang ramah. Hitam manis, bersenyuman tulus. Kelak saja bisa berjumpa Diana lagi. Semoga dia tak salah jalan, apalagi salah pergaulan. Bahkan wanita seusiaku tak mampu membayangkan bagaimana rasanya hidup tanpa Ibu, dan dia mampu. Bahkan sudah sejauh ini. See you somewhere, Di.

Bulan Ke-2: Banyak Hikmah dari Ruang Hemodialisa

Hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah buangan. Haemodialysis adalah pengeluaran zat sisa metabolisme seperti ureum dan zat beracun lainnya, dengan mengalirkan darah lewat alat dializer yang berisi membrane yang selektif-permeabel dimana melalui membrane tersebut fusi zat-zat yang tidak dikehendaki terjadi. Haemodialysa dilakukan pada keadaan gagal ginjal dan beberapa bentuk keracunan (Christin Brooker, 2001). 

Sudah hampir seminggu saya berada pada ruangan hemodialisa, dimana semua pasien yang ada didalamnya memiliki ginjal yang sudah tak lagi berfungsi dengan seharusnya. Kegiatan hemodialisa ini lebih dikenal oleh masyarakat luas sebagai "cuci darah".



Pasien dengan kegagalan ginjal ini biasanya melakukan kegiatan cuci darah sekitar 2 sampai 3 kali dalam seminggu. Jika tidak dilakukan cuci darah, maka kebanyakan pasien akan merasa sesak, tekanan darah meninggi, dan terjadinya udem atau pembengkakan pada ekstremitas atas dan bawah, kadang juga sampai ke wajah.

Mengapa kegagalan ginjal dapat terjadi sehingga harus adanya cuci darah? Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya cuci darah, dari kerusakan ginjal bawaan, adanya batu pada ginjal, tekanan darah tinggi atau yang dikenal dengan hipertensi, sakit gula yang dikenal sebagai diabetes, peradangan pada bagian-bagian didalam ginjal, dan banyak lainnya. 

Ketika sudah terdiagnosa dan harus menjalani cuci darah, menjadi sebuah beban tersendiri bagi beberapa pasien khususnya bagi mereka yang sudah bekerja. Ditambah lagi dengan banyaknya pasien yang cuci darah sudah terkena komplikasi dengan penyakit lainnya. 



Menjalani cuci darah setiap 2 ssampai 3 kali seminggu juga tidak mudah. Setiap kali cuci darah, para pasien hatus menunggu 3 bahkan sampai 5 jam hingga proses pembersihan darah selesai. Selama jangka waktu ini, pasien hanya bisa diam, duduk, dan menonton televisi dan mendengarkan lagu karena tak mampu kemana mana dikarenakan selang terhubung dibadan pasien dengan mesin yang menjalankan proses pencucian darah.

Sebagai pasien yang sudah mengalami kelainan pada ginjal, maupun bermasalah, sudah tak bebas lagi mengkonsumsi cairan, tentunya. Bahkan jika haus sekalipun, pasien tak bisa sesuka hati dalam mengkonsumsi cairan untuk tubuh dikarenakan ginjal sebagai mesin mengolah cairan sudah tak normal lagi dalam menjalankan fungsinya.

Terkadang menjadi pelajaran bagi diri sendiri ketika saya sebagai orang yang masih sehat terkadang lupa dan malas mengkonsumsi cairan, khususnya air putih. Sementara para pasien dengan masalah ginjal berusaha ingin minum dan tersiksa dalam menahan rasa haus yang dirasakan.

Memerhatikan kebiasaan para pasien dengan gagal ginjal juga mengajarkan saya untuk menjaga apa yang harusnya dijaga sejak dini. Terkadang godaan untuk malas malasan, memakan makanan tidak bergizi, memakan makanan tinggi penyedap rasa yang bisa membuat hipertensi dan masalah tubuh lainnya.

Rasa sedih ketika suatu saat saya melihat pasien dengan gagal ginjal ditambah komplikasi lalu teriak teriak kesakitan karena jarum yang harus dimasukkan kedalam tubuh sebagai penyambung antara tubuh dan mesin. Ditusuk dibeberapa bagian yang sudah terpasang sesuai dengan keadaan pasien. Ada yang dimasukkan jarum ke leher, kebagian lengan dekat siku, dan bagian selangkangan paha.

Lebih terenyuh lagi ketika mendengarkan pasien yang sudah cukup berumur dan berpenyakitan lain yang teriak teriak dan mengatakan "mati ajalah aku, lebih baik aku mati, sakit kali ini kurasa, mau kalian apakan lagi aku pakai itu". 

Pelajaran tentang mensyukuri kehidupan dan menjadi bahagia terkadang tak perlu jauh jauh. Melihat dirimu lebih sehat dari yang lain adalah sebuah anugrah. Menyadari dirimu masih mampu berjalan dengan kondisi isi tubuh yang baik dan masih bekerja sesuai dengan fungsinya adalah berkat. Menjadi bahagia terkadang sulit,Sampai akhirnya kita bertemu mereka yang lebih merasa tersiksa. Lebih merasakan beban antara kesanggupan ingin hidup atau bahkan menyerah saja. 

Mengerti pentingnya sehat tak harus sakit terlebih dahulu. Menjaga ginjal agar berjalan sesuai dengan fungsinya juga tak perlu menunggunya hingga lelah dan terlambat. Rutin dalam memeriksakan tekanan darah, mengurangi makanan mengandung pengawet, jangan malas dalam banyak memenuhi kebutuhan cairan, dan pastikan ginjal ada mendapat perhatian tanpa lekang. Salam sehat!

12 MEI 2017, Hari Perawat Sedunia

Selamat hari perawat sedunia saya ucapkan pada hari  dan tanggal yang sudah lewat tepatnya tanggal 12 Mei 2017 lalu. Tidak terasa nama perawat semakin tahun semakin baik dan berusaha semakin lebih baik lagi. Menjadi seorang perawat itu cukup penuh tantangan sekali, walau saya hanya masih mahasiswa training, tapi saya bisa bayangkan seperti apa rasanya menjadi seorang pegawai di rumah sakit nantinya.

Merawat orang yang kamu bahkan tidak kenal siapa, seperti memberikan rasa sayang ke setiap bayi yang kmu jumpai. Siapapun mereka, bayi siapapun mereka, difikiran ini pasti yang terlintas adalah "kasihan sekali, dia harusnya dirawat, dia pasti merasa bahagia jika merasa dicintai"  karena kita manusia, insan ciptaan Tuhan, punya naluri.

Sama hal-nya dengan pasien yang dirumah sakit. Terkadang yang kereka butuhkan bukanlah obat-obatan yang bertubi-tubi dalam proses kesembuhan, yang dibutuhkan lenih dari itu, rasa perhatian, rasa kasih sayang, rasa cinta yang diberikan, juga semangat yang tidak pernah patah. Tidak sedikit pasien yang dirawat merasa diabaikan oleh keluarga. Tidak sedikit juga pasien yang sakit merasa bahwa keluarga mereka menunjukkan sifat merasa dibebani akan sakitn yang sedang dialami, amarah yang kadang naik turun dan terlampiaskan kepada mereka yang sedang sakit. Apakah pernah kita berfikir mengubah sudut pandang dari cara mereka lmelihat dan merasa?

Hasil gambar untuk nurses

Menjadi seorang perawat saya belajar bahwa semua orang berhak untuk mendapatkan perhatian. Menjadi mahasiswi keperawatan saya juga belajar bahwa menjadi sehat itu kadang hanya sebatas merasa dicintai dan disayangi. Percaya atu tidak, jika rasa sayang dan cinta itu diberikan dengan tulus maka perasaan pasien akan jauh lebih membaik. Karena kedua rasa itu membuat pasien akan merasa disemangati, mereka akan merasa bahwa mereka tidak ditinggalkan, mereka akan merasa bahwa mereka masih punya harapan.



Terima kasih kepada seluruh pasien yang saya tangani dengan sepenuh hati. Terima kasih juga kepada kakak-abang perawat yang telah menunjukkan kesungguhan merawat tanpa balas kasih. Merawat benar- benar dengan rasa kasih dan cinta tulus tanpa pamrih. Kiranya pasien-pasien dirumah skait  kelak menjadi lebih cepat pulih, dan balik ke rumah dengan keadaan sehat dan stabil. Mari dengan tidak bosannya memberikan pelayanan yang penuh kasih dan cinta kepada mereka, pasien-pasien kita.

Panti Jompo; Cerita Awal Kisah Lansia

July, 2017.

Dibulan juli ini kami ditempatkan di dinas sosial, tepatnya dikenal dengan istilah “panti jompo”. Awalnya ada kecanjungan bagi saya dan teman- teman lainnya, namun mau- tidak mau kami harus mampu menyesuaikan diri dengan lansia yang berada disana.

Dinas sosial yang kami  tangani memiliki kisaran 19 wisma, dimana dalam 1 wisma dapat berisikan 5-10 lansia. Ada memang lansia yang focus dengan wanita saja dalam satu wisma, ada lelaki saja, ada juga yang campur. Biasanya yang campur ini diisi oleh lansia yang memang suami-istri tinggal di panti jompo tersebut.

Kisaran umur lansia yang kami temui disana beragam, namun hampir keseluruhan, lansia disana berisikan lansia berumur diatas 60 tahun. Banyak keluhan pribadi dari segi kesehatan para lansia disana, baik yang mata katarak dan tidak bisa memandang dengan jelas, ibarat orang yang sudah minus 5 namun melihat tanpa kacamata, seluruhnya buram. Ada juga yang menderita diabetes, asam urat, ganggguan pendengaran, gangguan mental juga ada namun sedikit, dan banyak keluhan medis lainnya.

Hasil gambar untuk lansia

Hampir seminggu bersama dengan lansia sejujurnya banyak sekali makna dan cerita hidup yang kadang susah untuk ditampung sendiri. Ibarat diri sendiri yang kadang tidak kuat dalam mendengarkan takut terbawa suasana mellow dari sang lansia. Disisi lain, ada juga lansia yang lucu-lucu. Ada lansia yang hobbynya bercocok tanam, nah setiap hari, dia pasti mengurusi cangkolan tanahnya, ladangnya. Ada juga yang punya hobby melihara ayam. Dia rela dan mau menolak segala kegiatan yang diadakan oleh dinas sosial demi merawat ternak ayamnya. Ada juga yang punya hobby jemur tilam setiap hari, padahal badannya sudahd apat dikatakan tua namun masih sanggip angkat tilam lainnya. Kebiasaan kakek seperti ini juga membuat lelucon tersendiri bagi lansia lainnya.



Unik sekali.

Gambaran yang dahulu mengatakan bahwa lansia akan akil balik, lansia akan kembali ke umur muda seperti semula, mulai lagi memulai kasmaran. Dan banyak cerita lucu lansia, yang ternyata benar setelah saya saksikan sendiri selama dinas di kota orang.


Mungkin saya, kamu, dan banyak orang lainnya yang takut dan mungkin tidak ingin menjadi lansia, namun yang namanya perputaran masa dari sebuah kehidupan akan selalu ada. Slogan apa yang engkau tabur lalu kau tuai menjadi  nyata jika mendengar para lansia mengulang kembali kisah hidupnya. Sekarang aku jadi berikir dan berkata, “sepertinya saya harus sering bertukar pikiran dengan lansia”.

Perjalanan Program Studi Profesi Ners; September 2016

Program Studi Sarjana Keperawatan tentunya berbeda-beda disetiap universitas, kala itu, tahun saya memakai sitem KBK, dimana kami belajar terlebih dahulu selama 4 tahun, lalu lanjut 1 tahun untuk praktik dilapangan, seperti: dirumah sakit umum pusat, dirumah sakit umum daerah, rumah sakit jiwa, puskesmas, dan terjun langsung ke masyarakat- dilingkungan mereka.

Untuk pertama kalinya, September 2016 saya menginjakkan kaki kerumah sakit dan terjun langsung ke masyarakat. Waktu itu, kami di acak, kisaran 100 –an mahasiswa dan mendapatkan “wilayah pertama” yang berbeda-beda. Tentunya, kami semua sudah di-orientasikan terlebih dahulu.

Image result for Nurse student

Saya mendapatkan RSJ, Rumah Sakit Jiwa. Yey! Waktu itu rasanya senang, karena ini stase yang banyak disukai mahasiswa profesi ners, dari kata senior-senior yang sudah lewat sih begitu. Karena memang tenaga yang dikeluarkan tentu tidak sebanyak tenaga yang dikeluarkan jika dinas dirumah sakit umum daerah maupun rumah sakit umum pusat.

Pembagian ruangan pun dimulai, Rumah Sakit Jiwa ini milik pemerintah, dan ternyata ada juga pembagian antara ruangan bangsal (kelas III), dan kelas I juga kelas  II. Tebak saya dimana? Kelas Satu!

Awalnya gagok dong ya, gagok itu bahasa apa? Kurang lebih “gatau apa-apa” ya gitu deh. Karena masih pertama kali menginjakkan kaki ketemu langsung sama pasien dengan gangguan jiwa. Sekarang tidak boleh disebut dengan “orang gila”, tapi “orang dengan gangguan jiwa, ODGJ” karena bahasa yang digunakan lebih sopan dan layak.


Untuk pertama kalinya juga saya dan teman-teman bertatap muka dengan ODGJ, takut ga? Ya jelas takut dong. Pemikiran kita masih sama dengan pemikiran awam lainnya, takut menghadapi ODGJ, takut di apa-apain, kalau orang bilang. Karena kita datang waktu jam bersih-bersih, nah kita jadi bantuin bersih-bersih juga. Berhubung saya di kelas I, kita beda sama ruangan lainnya. Menurut pandangan saya ya, dari apa yang saya lihat dan cerita teman-teman, sebab itu saya mengatakan yang saya rasakan berbeda. Kalau saya kemarin di kelas I, setiap kamar itu berisikan dua orang saja, tentunya kamar lelaki dan perempuan berbeda. Waktu itu, diruangan saya kebanyakan pria (9 Orang) dibandingkan dengan wanita (4 Orang). Tempat tidur yang digunakan jelas berbeda juga, mereka menggunakan kasur yang lebih empuk dan nyaman, walau tidak semua sih, hanya beberapa saja, sisanya memakai tempat tidur single bed yang bahannya terbuat dari besi, dan menggunakan tambahan kasur dibagian atasnya (semoga teman-teman mampu membayangkan kasur yang saya maksud ya).

Image result for tempat tidur besi jaman dulu
(ini nih, kurang  lebih tempat tidur yang saya maksud)// sumber pict: Google

ODGJ dikelas I ini jarang bekerja di pagi hari, kebanyakan sih pegawai yang membantu membersihkan ruangan mereka, hanya yang cukup kooperatif saja yang diajak untuk melakukan pembersihan. Harumnya bagaimana? Uh, semerbak! Kebanyakan ruangan akan berbau pesing, tidak semua ODGJ sudah mampu melaksanakan BAB maupun BAK dengan baik, bahkan di jaman saya dinas dulu, ada satu orang pasien dengan obesitas yang malas kekamar mandi, BAK dilakukan ditempat tidur, karena keseringan, akhirnya dia tidur tidak memakai kasur, karena kasur pasti akan basah terkena air seni-nya.

Hampir 60% ODGJ diruangan saya belum kooperatif. Diajak berbicara masih ngawur, saya Tanya A maka dia akan jawab C. Tidak sedikit juga kita bertemu ODGJ dan percaya, beberapa dari mereka, sangat pandai berimajinasi dan mengarang cerita.

Tentunya umur yang dirawat diruangan saya bervariasi, paling muda kisaran umur 28, bahkan yang tertua sudah menginjak umur 60 tahun. Faktor yang membuat  mereka akhirnya harus dirawat di RSJ tentu banyak sekali, masalah keluarga, kekerasan, obat-obatan, stress, depresi, yang akhirnya tidak terbendung dan membuat mereka kehilangan “batas normal” dalam segala hal.

Hampir seluruh ODGJ terdiagnosa “Defisit Perawatan Diri”. Mereka semakin malas mandi, bahkan menjaga kebersihan sudah tidak menjadi pokok utama. Jika tidak diingatkan untuk mandi, mereka tahan untuk tidak mandi berhari-hari. Saya waktu itu pernah ditugaskan untuk mendampingi seorang wanita untuk membersihkan diri, mengajari dari cara mengambil air dan membasahi badan, menyabuni diri dari atas sampai bawa, hingga pengeringan badan sampai memberikan baju untuk dipakai. Tidak semua ODGJ mampu melakukan perawatan dasar ini.

Kadang ada pertayaan yang muncul, sebenarnya ODGJ itu bisa sembuh total tidak? Jawabannya, Tidak (sepengetahuan saya, tidak. Saya belum melakukan mencari penelitian selanjutnya tentang ini). ODGJ tidak mampu sembuh total, tahap akhir paling baik yang mampu mereka capai adalah “Kooperatif”. Dimana mereka sudah mampu melakukan kegiatan manusia biasanya, mampu membersihkan diri, melakukan pembersihan ruangan, beraktivitas seperti biasanya, namun harus mengkonsumsi obat-obatan seumur hidupnya (selama dinas, yang saya lihat setiap pasien memang akan selalu mengkonsumsi obat setiap harinya).

Masalah ODGJ itu bermacam-macam, ada yang terkena halusinasi, nah halusinasi ini terbagi lagi: halusinasi pendengaran, penglihatan, pengecapan, penghidu, dan peraba. Kebanyakan yang berada di Rumah Sakit Jiwa adalah halusinasi penglihatan dan pendengaran. Tidak jarang dalam satu orang sudah terkena keduanya, Halusinasi pendengaran dan penglihatan. Ada juga diagnosa Perilaku Kekerasan, kebanyakan yang mengidap diagnosa ini adalah mereka yang mengkonsumsi obat-obatan, mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkan obat mereka kembali, hal ini terjadi karena mereka sudah terkena narkotika yang bersifat adiktif. Ada juga waham. Kalau waham ini, ODGJ akan merasa dirinya bermacam-macam. Ada yang  mengakui bahwa dia pemuka agama. Ada juga yang bilang dia sudah berkeluarga dan punya anak (setelah di cek di riwayat, ternyata statusnya masih single). Tidak sedikit juga yang  mengaku orang paling kaya, presiden, dan anggota DPR. Beberapa asumsi mengatakan, mereka seperti itu dikarenakan gagal menjadi seperti apa yang mereka inginkan. Waktu itu, saya juga bertemu seorang perempuan, ternyata dia penderita Bipolar. Beliau sudah berkeluarga, memiliki suami dan seorang anak. ODGJ masuk kerumah sakit jiwa hanya ketika “penyakit” mereka mengalami kekambuhan, hal ini terjadi dikarenakan malasnya pasien mengkonsumsi obat secara rutin.

Image result for halusinasi

ECT atau elektro convulsive therapy adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita, baik kejang tonik maupun kejang klonik. Tindakan ini adalah bentuk terapi pada klien dengan  mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis klien untuk membangkitkan kejang.

Saat dinas di RSJ, saya menyaksikan ECT ini lebih dari tiga kali, dengan orang yang berbeda. Waktu itu Tiga-tiganya berasal dari ruangan tempat saya dinas. Dua orang laki-laki dan 1 orang perempuan. Mereka diberikan terapi karena perubahan yang belum terlihat. Waktu itu, seorang wanita, bahkan sudah diberikan terapi obat juga tidak ada perubahan, biasanya, juga berdasarkan pengamatan yang saya lakukan, mereka akan memberikan hasil yang lebih baik setelah dilakukannya ECT. Untuk yang tidak tahan, pastinya akan menakutkan. Karena ODGJ akan mengalami kejang sedang, sehingga perlu ditahan dibagian tangan, paha juga kaki. Tentunya  mulut juga diberikan penghalang seperti busa agak keras agar tidak terjadinya cidera lidah yang tergigit.

Image result for ECT
sumber pict: Google


Hal yang memuaskan bagi perawat jika pasien ODGJ  mampu sampai ke tahap kooperatif. Biasanya, ODGJ yang kooperatif akan membantu perawat dan pegawai lainnya dalam mengayomi ODGJ yang masih dalam proses pengobatan. Bisa dibilang istilahnya “satpam” diruang masing-masing. Yang kooperatif tentunya sudah diperbolehkan keluar ruangan dan memantau namun hanya sebatas Rumah Sakit Jiwa, sisanya yang masih belum kooperatif akan dijaga didalam bangsal dengan pintu yang terkunci, berhubung masih banyak kasus ODGJ yang melarikan diri padahal pengobatan yang dilakukan belum selesai penuh.

Terakhir, sebelum dinas berakhir kami melakukan TAK, Terapi Aktivitas Kelompok. Waktu itu difokuskan hanya kepada pasien yang  mengalami halusinasi pendengaran, pelatihan kepada para pasien untuk mempu membedakan suara mana yang nyata, dan suara mana yang palsu. TAK yang kami lakukan seperti bisik-berbisik, kata yang dibisikkan orang pertama harus sama dengan kata yang diterima oleh oang terakhir sebagai hasil bahwa pasien mampu membedakan suara yang nyata. Tentunya ada reward yang diberikan kepada mereka, dan beberapa makanan ringan untuk dibagi bersama.

Tiga mingggu yang penuh dengan cerita membuat kami, terutama saya banyak belajar, tentang ODGJ. Dulu yang parno banget dan takut sama ODGJ, sekarang sudah biasa saja. ODGJ tidak akan mengganggu jika tidak diganggu. Hal-hal ini juga saya bagi dengan teman yang awam, agar persepsi yang salah tentang ODGJ dapat diubah. Penggunaan kata “orang gila” sudah selayaknya dipanggil dengan ODGJ. Karena kita tidak akan pernah tahu dan mengerti, jika tidak dicari tahu. Be Curious!

Kira-kira, cerita selanjutnya berada di stase mana ya?

Kisah Lucu, 17 Februari 2017

Menjadi hal biasa ketika mahasiswa yang sedang menjalankan profesi Ners maupun yang non profesi (D3) akan memiliki yang namanya "night shift". Biasanya night-shift inilah yang menjadi ketakutan banyak mahasiswa yang sedang profesi. Baik takut kekurangan jam istirahat tidur dikarenakan harus menjaga pasien yang kadang setiap malam pasti saja ada panggilan, belum lagi ketakutan akan pasien yang gawat namun memiliki rasa takut dan ragu apalagi karena masih baru, dan yang paling ditakutkan selanjutnya ialah "dioper".

Para mahasiswa Profesi Ners pasti tidak asing dengan yang namanya dioper. Tidak jarang dibeberapa rumah sakit khususnya rumah sakit yang kami singgahi untuk menimba ilmu  menjadikan "dioper" sebagai ancaman jika kami tidak menuruti apa yang beberapa  kakak pegawai katakan. Ya tidak asing saja, akan selalu ada yang baik, pengertian, dan yang jahat, suka merepet. Begitulah beberapa keadaan pegawai dirumah sakit umum daerah yang kami singgahi waktu itu.

 Hasil gambar untuk malam

Waktu itu kalau tidak salah teman kami memiliki shift malam di hari pertamanya (biasanya shift malam ada dua hari). Tidak jarang bahkan mungkin selalu setiap dinas malam para kakak-an pegawai pergi tidur dengan kasur pasien yang kosong ditempat mereka dan para mahasiswa ditinggalkan untuk  menjaga posko. Entah kekurangan pegawai entah bagaiamana, teman kami yang saat itu melanjutkan dinas malam dipesankan untuk memakai sepatu berwarna hitam, berhubung mahasiswa seharusnya memakai sepatu yang berwarna putih.

Tidak lama setelah sampai di rumah sakit tersebut, teman kami yang sudah  memakai sepatu hitam ternyata tidak cukup juga. Dia juga diberikan seragam pegawai, sehingga malam itu dia bekerja sebagai pegawai, bukan sebagai mahasiswa profesi ners. Entah karena kekurangan pegawai, entah karena pegawai lainnya ternyata tidak datang shift malam, entah supaya adik-adik profesinya tidak "dioper" sehingga teman kami diminta-tolong-kan memakai pakaian pegawai.

Mengapa "dioper" ini menjadi sebuah kabar yang seram? karena sebagian kemungkinan ketika mahasiswa yang dioper akan dikirimkan ke bagian IGD/UGD dimana stase tersebut sama sekali tidak pernah sepi. akan selalu banyak pasien. Akan diajak mengantar pasien kesana dan kemari. Bisa dibilang stase yang paling dan sangat  melelahkan sehingga para Mahasiswa yang menimba ilmu dirumah sakit tersebut sangat menghindari yang namanya "dioper".

Sedikit lucu, namun konyol. Semoga tidak ada kisah aneh lainnya yang merugikan kakak pegawai maupun merugikan teman Profesi Ners dan kawan "menimba ilmu" lainnya. Ya namanya bekerja harus profesional, bukan berarti harus merepotkan orang lain. apalagi mengkambinghitamkan orang lain.