Untuk pertama kalinya, September 2016 saya menginjakkan kaki kerumah sakit dan terjun langsung ke masyarakat. Waktu itu, kami di acak, kisaran 100 –an mahasiswa dan mendapatkan “wilayah pertama” yang berbeda-beda. Tentunya, kami semua sudah di-orientasikan terlebih dahulu.

Saya mendapatkan RSJ, Rumah Sakit Jiwa. Yey! Waktu itu rasanya senang, karena ini stase yang banyak disukai mahasiswa profesi ners, dari kata senior-senior yang sudah lewat sih begitu. Karena memang tenaga yang dikeluarkan tentu tidak sebanyak tenaga yang dikeluarkan jika dinas dirumah sakit umum daerah maupun rumah sakit umum pusat.
Pembagian ruangan pun dimulai, Rumah Sakit Jiwa ini milik pemerintah, dan ternyata ada juga pembagian antara ruangan bangsal (kelas III), dan kelas I juga kelas II. Tebak saya dimana? Kelas Satu!
Awalnya gagok dong ya, gagok itu bahasa apa? Kurang lebih “gatau apa-apa” ya gitu deh. Karena masih pertama kali menginjakkan kaki ketemu langsung sama pasien dengan gangguan jiwa. Sekarang tidak boleh disebut dengan “orang gila”, tapi “orang dengan gangguan jiwa, ODGJ” karena bahasa yang digunakan lebih sopan dan layak.
Untuk pertama kalinya juga saya dan teman-teman bertatap muka dengan ODGJ, takut ga? Ya jelas takut dong. Pemikiran kita masih sama dengan pemikiran awam lainnya, takut menghadapi ODGJ, takut di apa-apain, kalau orang bilang. Karena kita datang waktu jam bersih-bersih, nah kita jadi bantuin bersih-bersih juga. Berhubung saya di kelas I, kita beda sama ruangan lainnya. Menurut pandangan saya ya, dari apa yang saya lihat dan cerita teman-teman, sebab itu saya mengatakan yang saya rasakan berbeda. Kalau saya kemarin di kelas I, setiap kamar itu berisikan dua orang saja, tentunya kamar lelaki dan perempuan berbeda. Waktu itu, diruangan saya kebanyakan pria (9 Orang) dibandingkan dengan wanita (4 Orang). Tempat tidur yang digunakan jelas berbeda juga, mereka menggunakan kasur yang lebih empuk dan nyaman, walau tidak semua sih, hanya beberapa saja, sisanya memakai tempat tidur single bed yang bahannya terbuat dari besi, dan menggunakan tambahan kasur dibagian atasnya (semoga teman-teman mampu membayangkan kasur yang saya maksud ya).
(ini nih, kurang lebih tempat tidur yang saya maksud)// sumber pict: Google
ODGJ dikelas I ini jarang bekerja di pagi hari, kebanyakan sih pegawai yang membantu membersihkan ruangan mereka, hanya yang cukup kooperatif saja yang diajak untuk melakukan pembersihan. Harumnya bagaimana? Uh, semerbak! Kebanyakan ruangan akan berbau pesing, tidak semua ODGJ sudah mampu melaksanakan BAB maupun BAK dengan baik, bahkan di jaman saya dinas dulu, ada satu orang pasien dengan obesitas yang malas kekamar mandi, BAK dilakukan ditempat tidur, karena keseringan, akhirnya dia tidur tidak memakai kasur, karena kasur pasti akan basah terkena air seni-nya.
Hampir 60% ODGJ diruangan saya belum kooperatif. Diajak berbicara masih ngawur, saya Tanya A maka dia akan jawab C. Tidak sedikit juga kita bertemu ODGJ dan percaya, beberapa dari mereka, sangat pandai berimajinasi dan mengarang cerita.
Tentunya umur yang dirawat diruangan saya bervariasi, paling muda kisaran umur 28, bahkan yang tertua sudah menginjak umur 60 tahun. Faktor yang membuat mereka akhirnya harus dirawat di RSJ tentu banyak sekali, masalah keluarga, kekerasan, obat-obatan, stress, depresi, yang akhirnya tidak terbendung dan membuat mereka kehilangan “batas normal” dalam segala hal.
Hampir seluruh ODGJ terdiagnosa “Defisit Perawatan Diri”. Mereka semakin malas mandi, bahkan menjaga kebersihan sudah tidak menjadi pokok utama. Jika tidak diingatkan untuk mandi, mereka tahan untuk tidak mandi berhari-hari. Saya waktu itu pernah ditugaskan untuk mendampingi seorang wanita untuk membersihkan diri, mengajari dari cara mengambil air dan membasahi badan, menyabuni diri dari atas sampai bawa, hingga pengeringan badan sampai memberikan baju untuk dipakai. Tidak semua ODGJ mampu melakukan perawatan dasar ini.
Kadang ada pertayaan yang muncul, sebenarnya ODGJ itu bisa sembuh total tidak? Jawabannya, Tidak (sepengetahuan saya, tidak. Saya belum melakukan mencari penelitian selanjutnya tentang ini). ODGJ tidak mampu sembuh total, tahap akhir paling baik yang mampu mereka capai adalah “Kooperatif”. Dimana mereka sudah mampu melakukan kegiatan manusia biasanya, mampu membersihkan diri, melakukan pembersihan ruangan, beraktivitas seperti biasanya, namun harus mengkonsumsi obat-obatan seumur hidupnya (selama dinas, yang saya lihat setiap pasien memang akan selalu mengkonsumsi obat setiap harinya).
Masalah ODGJ itu bermacam-macam, ada yang terkena halusinasi, nah halusinasi ini terbagi lagi: halusinasi pendengaran, penglihatan, pengecapan, penghidu, dan peraba. Kebanyakan yang berada di Rumah Sakit Jiwa adalah halusinasi penglihatan dan pendengaran. Tidak jarang dalam satu orang sudah terkena keduanya, Halusinasi pendengaran dan penglihatan. Ada juga diagnosa Perilaku Kekerasan, kebanyakan yang mengidap diagnosa ini adalah mereka yang mengkonsumsi obat-obatan, mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkan obat mereka kembali, hal ini terjadi karena mereka sudah terkena narkotika yang bersifat adiktif. Ada juga waham. Kalau waham ini, ODGJ akan merasa dirinya bermacam-macam. Ada yang mengakui bahwa dia pemuka agama. Ada juga yang bilang dia sudah berkeluarga dan punya anak (setelah di cek di riwayat, ternyata statusnya masih single). Tidak sedikit juga yang mengaku orang paling kaya, presiden, dan anggota DPR. Beberapa asumsi mengatakan, mereka seperti itu dikarenakan gagal menjadi seperti apa yang mereka inginkan. Waktu itu, saya juga bertemu seorang perempuan, ternyata dia penderita Bipolar. Beliau sudah berkeluarga, memiliki suami dan seorang anak. ODGJ masuk kerumah sakit jiwa hanya ketika “penyakit” mereka mengalami kekambuhan, hal ini terjadi dikarenakan malasnya pasien mengkonsumsi obat secara rutin.

ECT atau elektro convulsive therapy adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita, baik kejang tonik maupun kejang klonik. Tindakan ini adalah bentuk terapi pada klien dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis klien untuk membangkitkan kejang.
Saat dinas di RSJ, saya menyaksikan ECT ini lebih dari tiga kali, dengan orang yang berbeda. Waktu itu Tiga-tiganya berasal dari ruangan tempat saya dinas. Dua orang laki-laki dan 1 orang perempuan. Mereka diberikan terapi karena perubahan yang belum terlihat. Waktu itu, seorang wanita, bahkan sudah diberikan terapi obat juga tidak ada perubahan, biasanya, juga berdasarkan pengamatan yang saya lakukan, mereka akan memberikan hasil yang lebih baik setelah dilakukannya ECT. Untuk yang tidak tahan, pastinya akan menakutkan. Karena ODGJ akan mengalami kejang sedang, sehingga perlu ditahan dibagian tangan, paha juga kaki. Tentunya mulut juga diberikan penghalang seperti busa agak keras agar tidak terjadinya cidera lidah yang tergigit.


sumber pict: Google
Hal yang memuaskan bagi perawat jika pasien ODGJ mampu sampai ke tahap kooperatif. Biasanya, ODGJ yang kooperatif akan membantu perawat dan pegawai lainnya dalam mengayomi ODGJ yang masih dalam proses pengobatan. Bisa dibilang istilahnya “satpam” diruang masing-masing. Yang kooperatif tentunya sudah diperbolehkan keluar ruangan dan memantau namun hanya sebatas Rumah Sakit Jiwa, sisanya yang masih belum kooperatif akan dijaga didalam bangsal dengan pintu yang terkunci, berhubung masih banyak kasus ODGJ yang melarikan diri padahal pengobatan yang dilakukan belum selesai penuh.
Terakhir, sebelum dinas berakhir kami melakukan TAK, Terapi Aktivitas Kelompok. Waktu itu difokuskan hanya kepada pasien yang mengalami halusinasi pendengaran, pelatihan kepada para pasien untuk mempu membedakan suara mana yang nyata, dan suara mana yang palsu. TAK yang kami lakukan seperti bisik-berbisik, kata yang dibisikkan orang pertama harus sama dengan kata yang diterima oleh oang terakhir sebagai hasil bahwa pasien mampu membedakan suara yang nyata. Tentunya ada reward yang diberikan kepada mereka, dan beberapa makanan ringan untuk dibagi bersama.
Tiga mingggu yang penuh dengan cerita membuat kami, terutama saya banyak belajar, tentang ODGJ. Dulu yang parno banget dan takut sama ODGJ, sekarang sudah biasa saja. ODGJ tidak akan mengganggu jika tidak diganggu. Hal-hal ini juga saya bagi dengan teman yang awam, agar persepsi yang salah tentang ODGJ dapat diubah. Penggunaan kata “orang gila” sudah selayaknya dipanggil dengan ODGJ. Karena kita tidak akan pernah tahu dan mengerti, jika tidak dicari tahu. Be Curious!
Kira-kira, cerita selanjutnya berada di stase mana ya?
0 comments: