Sudah hari ke 4 dinas dirumah sakit dan mulai terbiasa dengan suasana disekitar. Tidak terasa bahwa dunia kesehatan akan terasa seperti ini, ketika mementingkan urusan orang lain dibandingkan urusanmu menjadi hal yang lumrah dan memang seharusnya.
Sesungguhnya di hari ke-2 saya sudah mendengar adanya pasien exit, kalau dirumah sakit, pasien yang sudah “pergi jauh” akan selalu disebut “pasien exit” dan terasa cukup menengangkan. Tepat pada hari kedua disiang hari juga terdengar adanya pasien exit, seorang wanita yang terkena diagnosa “MDR”. Untuk pertama kalianya saya melakukan perawatan jenazah dengan wanita tersebut. Walau saya selalu penasaran bagaimana rasanya jika menyaksikan langsung “perginya seseorang” dengan caraNya.
Tiba diruangan, seorang Ibu dari pasien yang exit sudah menangis dan menciumi kening pasien. Menangis tersedu-sedu perasaan kehilangan dari seorang Ibu. Tak lama kami mendekat lalu beliau berkata “hati-hati ya nak” dan tentunya iya.
Ketika pasien exit dan peralatan masih terapasang pada pasien, tindakan awal yang dilakukan terlebih dahulu ialah meng-up-kan semua peralatan medis yang terpasang, mulai dari infuse, oksigen, kateter, pampers dan peralatan lainnya jika masih terpasang, harus dilepaskan. Kami juga mengikat dibagian kepala, apalagi jika pasien meninggal dengan keadaan mulut terbuka. Menutup bagian mata pasien yang terbuka, juga mengikat bagian tangan, dan mengikat bagian kaki. Sebelum melakukan hal tersebut tentunya juga kami melepaskan pakaian pasien yang sudah exit, walau sebenarnya khusus dalam hal ini kita meminta persetujuan dari keluarga yang bersangkutan, karena tidak selamanya keluarga mau pasien exit dilepaskan pakaiannya, dan biasanya setelah dirapikan maka pasien akan dijemput oleh petugas dari kamar jenazah untuk dipulangkan.
Tepat hari ke-4, saya mendapatkan jadwal di sore hari yang bertepatan start jam 14.00-20.00. Sekitaran pukul 15.30 atau lewat, saya kedatangan pasien baru dan akan memasuki ruangan. Saat pertama saya berjumpa dengan pasien tersebut, saya bahkan mengira bahwa dia anak yang masih belia karena badan yang begitu kecil untuk seumurannya dan berat badan yang kurang-jauh sekali dari kata ideal (kurus). Pasien juga datang dengan keadaan duduk, susah untuk tidur terlentang, dan juga memakai oksigen dengan kekuatan 10 liter, yang artinya bantuan nafas yang diberikan sudah sangat banyak untuk membantu adik tersebut dalam bernafas. Setelah diberikan infuse, ternyata dalam waktu 2 jam kemudian sudah habis dan keluarga datang melapor untuk digantikan.
Sampai diruangan adik tersebut, yang kebetulan umurnya 3 tahun dibawah saya, sudah terlihat lepas dan tidur miring kesebelah kanan. Saya langsung mengganti infus dan ibunya memanggilnya dengan suara yang keras sembari mendoakan dan mengucap ayat. Ketika ibu panic, untuk perata kalinya pun saya juga panic karena nafas dari adik terebut sudah tinggal 1-1 bahkan sudah dibantu oksigen tetap saja begitu. Berlari keruangan depan dan mengambil alat pengukur tekanan darah, dan sebelum saya lakukan pemeriksaan, saya sudah meraba duluan nadi radialis yang berada dibawah jempol (sejajaran jempol) dan sudah tidak ada. Supaya semakin yakin, saya juga melakukan pemeriksaan tekanan darah dan hasilnya sama, tidak ada terdengar suara detakan jantung seperti biasanya.
Ibu dari pasien meminta saya untuk memastikan lebih pasti lagi, lalu saya panggil dokter jaga yang sedang berdiri didepan ruangan dan baru saja datang. Dengan mimic muka yang terkejut, karena saat masuk memang keadaan pasien masih terlihat dapat tertolong. Sampai diruangan dokter melakukan pemeriksaan nadi radialis kembali, mengecek bagian kaki dengan menekan salah satu bagian kaki, melihat bagian mata dan melakukan pemeriksaan menggunakan senter. Meraba nadi carotis yang terdapat dibagian kanan-kiri leher.
Untuk pertama kalinya saya menyaksikan pasien “pergi jauh” secara langsung. Ketika bahkan saya tak mampu mengucap apapun. Melihat Ibu yang menangis tersedu kehilangan anak pertamanya yang sudah dirawat sejak 5 tahun yang lalu dikarenakan penyakit getah bening. Yang mampu saya lakukan hanyalah bersyukur karena saya masih bisa bernafas tanpa memnggunakan bantuan oksigen, bisa berjalan tanpa bantuan kursi roda. Bisa mengatur kondisi cairan tubuh sendiri tanpa menggunakan infus.
Karena penyakit bisa datang kapan saja. Penyakit yang ditakdirkan dan penyakit yang diciptakan sendiri. Hanya saja kita terlalu ego tidak memelihara pemberian Tuhan yang begitu berharga. Karena pada awalnya setiap tubuh manusia diciptakan “anggota perang” yang siap melawan apa saja yang menghantam tubuh anda. Jika anggota perang bekerja sendiri tanpa bantuan eksternal dari usaha anda, itu namanya terlalu kejam. Jaga apa yang bisa anda jaga. Rawat apa yang bisa anda rawat. Karena kita bisa dipanggil kapan saja. Tapi rasannya terlalu sedih jika dipanggil bukan karena waktuNya, tapi karena kecorobohan kita yang tak pernah menjaga apa yang sudah diberikanNya.
0 comments: